Minggu, 17 Oktober 2010

banjir dan masa depan indonesia

Banjir dan Masa Depan Indonesia


Menurut LIPI, wilayah Indonesia memiliki 6 persen persediaan air dunia atau 21 persen air Asia-Pasifik. Namun kenyataan yang ditemui selalu terdapat tiga masalah klasik air di Indonesia ,yaitu: too much, too little, too dirty. Pada saat hujan air akan berlebihan yang menyebabkan banjir, pada saat kemarau air akan kekurangan yang mengakibatkan kekeringan. Selain itu air di wilayah Indonesia terlalu kotor atau tercemar yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan dan kerusakan tata lingkungan.
Timbulnya masalah tersebut di atas mengindikasikan bahwa keadaan lingkungan alam yang mendukung proses daur hidrologi sedang atau telah mengalami kerusakan.

Seharusnya pada musim hujan, air dapat disimpan di dalam tanah dengan bantuan akar-akar tanaman yang mampu menahan air, lalu air resapan tanah tersebut dapat digunakan pada musim kemarau. Karena menurunnya infiltrasi (peresapan) air hujan ke dalam tanah,maka menyebabkan meningkatnya aliran permukaan sehingga terjadilah banjir. Jadi banjir sangat berhubungan dengan komponen penyerap air seperti hutan, dan daerah resapan air lainnya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa hutan di Indonesia telah mengalami kerusakan akibat deforestasi (penebangan hutan) secara berlebihan. Hutan sebagai komponen utama penyimpan air sudah tidak mampu lagi menjalankan fungsinya. Tujuh puluh persen hutan di Indonesia dinyatakan telah lenyap. Kerusakan hutan di Indonesia merupakan kerusakan tercepat di dunia. Menurut hitungan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) kerusakan hutan setiap tahun telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun atau 7,2 hektar per menit.

Waduk,situ, rawa dan ruang terbuka hijau lainnya yang berfungsi menampung kelebihan air di musim hujan kini telah banyak ditimbun untuk kemudian berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman, pertokoan dan industri. Apalagi ditambah dengan kebiasaan buruk masyarakat membuang sampah serta membangun rumah di bantaran sungai berakibat meluapnya sungai saat curah hujan tinggi.

Kita tidak bisa menyalahkan terjadinya banjir di seluruh wilayah di Indonesia karena peristiwa alam,seperti curah hujan yang tinggi, topografi tanah serta letak wilayah, karena bencana akibat peristiwa alam sebenarnya bisa kita prediksi dan kita hindari jika kita bijaksana dalam mengelola alam. Apalagi jika bencana itu terjadi terjadwal setiap tahun,seharusnya kita bisa cerdas mengantisipasinya, agar tidak menimbulkan banyak korban dan kerugian.

Jakarta yang berada di daerah hilir sungai Ciliwung, selalu mengalami musibah bencana banjir. Banjir di Jakarta telah terjadi sejak tahun 1621 akibat meluapnya sungai Ciliwung. Pemerintah kolonial saat itu telah berupaya mengurangi luapan air dengan cara membangun beberapa bendungan, kanal (terusan air) serta rehabilitasi sungai. Hingga saat ini banjir di Jakarta seakan sebuah bencana terjadwal,karena bencana ini selalu datang setiap musim hujan tiba. Untuk menanggulangi bencana banjir di Jakarta,pemerintah pusat telah mengucurkan dana pinjaman luar negeri kepada pemerintah provinsi DKI, namun hasilnya hingga kini banjir di Jakarta malah lebih parah.

Bila tahun lalu kita mendengar banjir hanya terjadi di Jakarta,namun tahun ini secara serentak banjir menimpa daerah-daerah lain yang notabennya dikenal kaya akan hutan serta daerah di mana lahan yang digunakan untuk pemukiman masih sedikit,seperti di Kalimantan Tengah,Timur dan Selatan, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung. Daerah lainnya seperti di Sulawesi Selatan, kabupaten Blitar, Pulau Sumbawa dan kabupaten Bandung.

Banjir di Jakarta terjadi karena kebijakan pemerintah provinsi DKI yang selalu tidak berwawasan lingkungan, seperti menebangi ratusan pohon yang ada di jalur hijau Jakarta demi bus way,pemberian izin bagi pembukaan lahan untuk pemukiman serta tidak adanya program pembangunan yang berwawasan lingkungan. Bila hal ini berlangsung terus menerus, tidak mustahil dapat menjadikan Jakarta laksana danau raksasa pada musim penghujan.

Untuk menghindarkan Jakarta dari amukan banjir yang lebih dahsyat, Naik Sinukaban, Ketua Departemen Konservasi Tanah dan Air IPB, mengajukan konsep “penjinakan”sungai Ciliwung untuk mengamankan Jakarta. Menurutnya,akar persoalan dan penyebab banjir di Jakarta adalah menurunnya infiltrasi yang mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan. Oleh sebab itu, penggunaan lahan di DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung harus ditata agar sesuai dengan kemampuannya menyerap air. Permukiman dan pertanian seharusnya ditata dan dikelola agar koefisien limpasan (proporsi air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah) menjadi rendah.

Penurunan koefisien limpasan di permukiman dapat dilakukan dengan membuat pedoman pembangunan rumah dan menerapkannya,agar air hujan di setiap rumah/bangunan tidak dialirkan ke selokan tapi diserap ke dalam tanah atau sumur serapan. Selain itu penurunan koefisien seluruh DAS dapat juga dilakukan dengan pembangunan check dam terutama di daerah hulu dan tengah DAS serta situ-situ di bagian tengah dan hilir DAS. Untuk melaksanakan konsep penjinakan ini diperlukan kerjasama antara pemerintah provinsi DKI dan Jawa Barat dengan memakai prinsip one river one plan, one integrated management, mengingat DAS Ciliwung meliputi bagian hulu mulai dari Gunung Pangrango sampai stasiun air Katulampa, bagian tengah mulai dari Katulampa sampai stasiun Ratujaya (Depok), dan bagian hilir dari Ratujaya sampai stasiun Manggarai.

Banjir di daerah lain terjadi karena luapan sungai-sungai yang sudah tidak dapat menampung kelebihan air permukaan karena tidak berfungsinya hutan sebagai penyerap dan penampung air utama pada musim hujan, sebagai akibat dari penggundulan hutan illegal (illegal logging) yang membabi buta yang dilakukan para penjarah dengan jaringan pelakunya yang luas.

Komitmen para pihak terkait dan adanya pengorganisasian antar instansi untuk menindak pelaku kejahatan alam dan menyelamatkan konservasi alam sangatlah dinantikan demi menyelamatkan masa depan negeri ini dari kehancuran akibat ketamakan manusia yang berakibat kesengsaraan rakyat banyak.

Diberitakan, puluhan ribu hektar tanah rakyat di daerah terkena bencana banjir mengalami gagal panen (puso). Puso juga terjadi di daerah yang mengalami kekeringan akibat langkanya air di musim kemarau, seperti di Lembata NTT. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya kelaparan di beberapa wilayah di Indonesia.

Yang tidak kalah penting, diaktifkannya partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungannya. Hal ini bisa dilakukan melalui kerjasama antara pemerintah daerah dan sekolah-sekolah untuk memberikan pendidikan wawasan lingkungan tentang kedisiplinan membuang sampah dan tanggung jawab menjaga ekosistem alam kepada murid-murid sekolah selaku pewaris negeri, juga kepada masyarakat pada umumnya. Karena bagaimana pun, ketidakdisilinan dan ketidakacuhan masyarakat juga memberikan kontribusi yang besar terhadap terjadinya banjir. Menurut data Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Propinsi Jawa Barat, setiap hari 80 ton sampah masuk ke sungai.

Sudah sangat mendesak negeri ini harus kita selamatkan dari kehancuran. Jutaan rakyat menanti keseriusan dan komitmen para pembuat dan pelaksana kebijaksanaan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Peringatan Allah haruslah selalu kita ingat bahwa sesungguhnya kerusakan yang terjadi di negeri kita adalah karena ulah kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar